Ada
sebuah hadits yang menarik perhatian saya. Bahwa Rasulullah pernah
menyampaikan bahwa bahkan jika tahu besok akan tiba hari kiamat dan
ditangan kita ada benih yang harus ditanam, maka tanamlah. Sebuah ajaran
tentang produktivitas yang sangat bagus sekali. Saya agak tercenung
memikirkan hadits ini. Bahkan jika kita tahu, bahwa besok tidak ada lagi
harapan hidup, jika kita mengerti bahwa besok akan berakhir semua
kesenangan dunia, jika besok kita tahu tidak ada yang bisa diselamatkan,
tapi ditangan kita masih ada benih yang harus ditanam, maka tanamlah.
Indah nian Islam mengajarkan. Dan inilah karakter yang seharusnya
terbangun dalam diri setiap umat Islam. Produktivitas. Rajin-rajinlah
memproduksi sesuatu, entah apapun itu produknya. Mau barang, jasa, atau
layanan lain yang bermanfaat bagi umat, maka perbanyaklah, meskipun jika
seandainya kita tahu besok akan tiba hari akhir itu. Produktivitas
inilah yang saat ini menjadi kendala utama di Negara kita. Ditengah
negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi seperti ini, tingkat
pengangguran masih teramat sangat tinggi. Setiap tahun puluhan ribu
orang mendaftar jadi pegawai negeri yang Cuma membutuhkan beberapa Ratus
orang saja. Setiap tahun, hampir disetiap hari buruh selalu berhiaskan
demonstrasi yang mengarah kepada pemenuhan hak hidup buruh yang memang
akan selalu kurang. Di Malaysia saja, para buruh Migran dihargai “Cuma”
450 RM (hampir sama kita mengeluarkan uang 450.000), tapi karena nilai
tukar uang Negara itu lebih tinggi dari kita maka jadilah uang 450 RM
setara dengan kurang lebih Rp 1.250.000 dinegara kita. Dan akan sangat
susah di negeri ini menemukan seorang pembantu yang di gaji sebesar itu
setiap bulannya.
Sebetulnya ada dua sisi yang perlu kita lihat
dari pola perilaku masyarakat Indonesia ini. Yaitu yang pertama adalah
soal kesederhanaan, yang kedua adalah soal kemandirian. Dua hal inilah
yang menurut saya perlu kita amati bersama, sejauh mana Islam sudah
mempengaruhi kehidupan sosial umatnya. Dua persoalan inilah yang membuat
kita harus mengelus dada mengingat negeri yang subur makmur ini harus
berjibaku dengan persoalan kemiskinan dan kebodohan yang boleh dibilang
parah. Kenapa saya bilang parah? Karena di daerah saya di Ponorogo itu
masih ada orang dengan penghasilan Rp 1000 / hari. Bayangkan, ongkos
parkir di Bandung saja jumlahnya sudah dua kali lipatnya. Atau lihatlah
bagaimana di penghujung pelosok Indonesia masih ada anak yang tidak bisa
membaca ketika usianya sudah menginjak 16 tahun. Ini sebuah Fakta
sosial yang tidak bisa kita tutupi, tapi seharusnya menjadi keprihatinan
dan memancing tindakan nyata bagi kita untuk berbuat yang lebih baik
lagi.
Kesederhanaan. Sebuah perilaku yang berhubungan erat
dengan hidup apa adanya. Tapi sederhana bukan berarti miskin. Hidup
sederhana adalah hidup sesuai dengan kebutuhan. Hidup sederhana bukanlah
dari Bandung ke Jakarta naik sepeda. Hidup sederhana juga bukan
berpakaian robek-robek ke kantor. Namun hidup sederhana adalah memenuhi
kebutuhan (bukan keinginan) dengan cara-cara yang wajar. Bagi seorang
presiden, apalagi memimpin negeri seluas Indonesia membeli sebuah
pesawat kenegaraan adalah sebuah kesederhanaan, karena dengan menyewa
pesawat tentu harganya akan jatuh lebih mahal lagi. Tapi bagi kita,
membeli sandal japit 10 buah itu bukan kesederhanaan. Buat apa beli 10
jika yang dibutuhkan cuma sepasang? Sekali lagi, kesederhanaan bukanlah
terletak kepada nominal yang kita keluarkan. Tapi lebih kepada sikap dan
perilaku kita, apakah kita memerlukannya atau tidak.Teringat kembali
cerita ketika saya dulu KKN disebuah desa. Para remaja waktu itu (tahun
2004) sedang menggilai yang namanya Video Phone. Gadget canggih berharga
6 jutaan waktu itu harus ditebus dengan menjual sapi bapaknya. Bukan
masalah mampu atau tidaknya mereka membeli, tapi buat apa mereka beli
Handphone dengan faslitas Video Phone padahal sinyal saja tidak masuk ke
desa itu? Sebuah gambaran bahwa kesederhanaan sudah tidak lagi menjadi
pola hidup di sebagian masyarakat kita.
Sedangkan kemandirian,
adalah sebuah perilaku bangga akan produk sendiri, atas hasil karya
sendiri, atas kemampuan sendiri. Kemandirian juga bukan berarti anti
produk asing. Jikalau memang produk asing itu memang jauh lebih
berkualitas dan kita memerlukannya, maka apa salahnya memakai produk
asing. Tapi selama produk yang kita ingin beli itu bisa dikerjakan
dengan mutu dan kualitas yang tidak kalah dengan buatan luar negeri oleh
bangsa kita sendiri, maka kenapa tidak kita pakai? Betapa mengejutkan
bahwa pembuat Film Ipin dan Upin itu ternyata adalah sarjana lulusan
ITB. Betapa mengagetkan bahwa produk kaos tangan Golf yang dijahit
tangan yang sering dipakai oleh Tiger woods itu ternyata di jahit oleh
pengrajin dari Garut, Jawa Barat. Jangan lupakan juga , BJ Habiebie
adalah pemegang hak paten sayap pesawat Boing yang diproduksi di
Amerika. Dan banyak lagi prestasi anak bangsa yang pantas untuk kita
banggakan. Menikmatinya satu per satu tidak akan cukup setahun penuh.
Maka tidak perlu minder jika memakai produk dalam negeri. Kehilangan
spirit kemandirian ini akan menjadikan kita ibarat menerbangkan
layang-layang, kita gembira, bahagia, bertepuk tangan melihat
layang-layang kita terbang mengangkasa, sedangkan kita sendiri masih
tertinggal di landasan.
“I’maluu fauqo maa ‘amiluu” (berbuatlah
lebih dari apa musuh-musuh Islam itu perbuat), ini ayat-Nya, ini
perintah-Nya, yang kita wajib untuk taat dan patuh. Inilah perintah bagi
kita untuk mandiri. Lepas dari ketergantungan kepada bangsa lain siap
berdiri diatas kaki kita sendiri. Pada ayat diatas dijelaskan bahwa kita
diperintahkan dengan tegas dan jelas dengan kata FAUQO yang artinya
diatas dan jauh. Jika musuh-musuh Islam sudah sampai ke bulan, maka
seharusnya kitalah yang bertugas mengexplorasi planet mars atau Pluto.
Jika musuh-musuh Islam sudah sampai mampu membuat pesawat terbang yang
canggih, maka kitalah, umat Islamlah yang seharusnya mampu membuat
pesawat yang mampu mengelilingi bumi ini dalam perjalanan ilmiahnya.
Kita, dan bukan mereka lagi.
Kehilangan dua karakteristik
inilah yang menurut saya menjadikan produktifitas kita menurun drastis.
Kita cenderung hidup dan tumbuh sebagai bangsa yang konsumtif dan tidak
produktif. Sebagai bangsa yang menikmati hasil karya orang lain dan
mencibir hasil karya bangsa sendiri. Sehingga bahkan untuk mendongkrak
angka penjualan, sebagian produsen produk local menamai produknya dengan
nama-nama merk yang terkenal, meskipun kualitas produk mereka jauh
lebih hebat dari pemilik merk itu sendiri. Permasalahan cara pandang
inilah yang perlu kita benahi. Sudah saatnya kita hidup sederhana dan
tidak usah memiliki apa-apa yang memang tidak ada perlunya buat kita.
Jika kita ingin memiliki sesuatu, maka usahakanlah kita menciptakan
kebutuhan kita kepada sesuatu itu. Sehingga kita ketika memilikinya,
bukanlah memiliki sesuatu yang terbuang percuma, atau untuk
gagah-gagahan semata-mata. Dan inilah saatnya kita bangga dengan produk
kita sendiri. Dengan buah dan sayuran segar produksi dalam negeri
sendiri. Dengan susu dan daging terbaik dari negeri sendiri.
Dengan beras dan minyak tersehat yang diambil dari tanah negeri ini.
Bekerja dalam kesederhanaan dan dalam peluh kemandirian. Itulah yang
harus kita lakukan untuk meningkatkan produktifitas kita, dan mengikuti
Hadits Rasulullah yang saya sebutkan diatas. Semoga kita bisa menjadi
“petani-petani” yang menanam bibit-bibit kemajuan, meskipun seandianya
kita tahu, besok kiamat akan tiba.
Wallahu a’lam
Sumber
Chintya
0 comments:
Post a Comment