Ngalab Berkah Dan Perantara Kubur

Ngalab Berkah Dan Perantara Kubur
Dulu di kala saya ziarah kubur (ziarah wali songo), di samping ngalap berkah saya juga bertawassul/berwasilah dengan penghuni kubur. Karena dalam pemikiran saya saat itu, kegiatan itu adalah sebuah keyakinan dan suatu amalan yang paling baik dan benar, tidak ada salah sedikit pun. Bahkan ketika saya memimpin Rombongan Ziarah Wali Songo, saya pernah mengatakan kepada para rombongan ziarah, bahwa tawassul/wasilah itu ibarat kita ingin ketemu presiden, yang tidak akan bisa nyelonong/langsung menemuinya, akan tetapi harus melalui prosedur yang telah ditentukan. Sebagaimana kita harus minta surat pengantar mulai dari Rt, Rw, kelurahan, kecamatan, sampai ajudan presiden, baru bisa bertemu presiden. Lalu kita baru mohon ini dan mohon itu. Dan saya berkeyakinan bahwa penghuni kubur/ sang Kyai adalah salah satu yang bisa kita jadikan wasilah untuk meminta kepada Allah SWT. Eh, terntyata tawassul yang saya qiyaskan itu tawassul syirik. Kesyirikan yang paling tampak adalah terjadi penyamaan antara Allah SWT dengan presiden, dan saya dikala melakukan itu, tidak merasa kalau terjadi kesyirikan dalam bertwassul. Setelah saya cermati dan saya pelajari ulang, ternyata saya dapati bahwa tawassul yang disyariatkan itu ada tiga, yaitu :
  1. Tawassul orang mukmin kepada Allah SWT dengan dzat Allah SWT yang Maha Luhur, dan dengan Nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
  2. Tawassul orang mukmin kepada Allah SWT dengan amalan-amalannya sendiri yang shalil.
  3. Tawassul orang mukmin kepada Allah SWT dengan doa saudaranya yang mukmin yang masih hidup. 
     Kemudian makna wasilah seperti yang tercantum dalam firman Allah SWT

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ امَنُوا۟ اتَّقُوا۟ اللَّـهَ وَابْتَغُوٓا۟ إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

     "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya"153

     Dan biar kita tidak salah memahami ayat, ayolah sama-sama kita ikuti penafsiran ulama besar ahli tafsir yang mengikuti madzab Syafi'i, beliau adalah Ibnu Katsir. Beliau menafsirkan surat al-Maidah ayat 35 sebagai berikut:

Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bertaqwa kepada-Nya, yang dimaksud adalah tindakan menghindari segala hal yang haram dan meninggalkan semua larangan. Setelah itu, Allah SWT berfirman, وَابْتَغُوٓا۟ إِلَيْهِ..... "...dan carilah jalan mendekatkan diri kepada-Nya." Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari Thalhah, dari Ibnu 'Abbas, "Maksudnya ialah kedekatan. "Hal yang senada juga dikatakan Mujahd, Abu Wail, al-Hasan, Qatadah, 'Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan beberapa ulama lainnya.

     Adapaun Qatadah berkata, "Artinya, hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allah, dengan menaati-Nya dan mengerjakn segala yang diridhai-Nya."

     (Mengenal al-Wasilah ini), Ibnu Zaid membaca ayat,

أُو۟لٰٓئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ

     "Orang-orang yang kamu seru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Rabb mereka."(Syrat al-Isra' : 57) itulah yang dikemukakan oleh para imam yang didalamnya tidak terdapat perbedaan pendapat di antara ahli tafsir.

Ibnu Jarir mengucapkan perkataan seorang penyair:

إذا غفل الواشون عدنا لوصلنا٭ وعاد التصافى بيننا والوساىٔل

"Bila lengah pengadu domba-domba, kami kembali legi berhubungan.

Maka kembalillah kejernihan antara kami dan juga seluruh jalannya."

     wasilah adalah sarana yang mengantarkan pada pencapaian tujua. Wasilah juga merupakan alam (nama tempat) yang berada paling tinggi di syurga, yang merupakan kedudukan dan tempat tinggal Rasulullah SAW di syurga. Inilah tempat di syurga yang paling dekat dengan 'Arsy. Di dalam Sahih al-Bukhori ditegaskan melalui jalan Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir bin 'Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda

من قال حين يسمع النداء: اللهم رب هده الدعوة التامة، والصلاة القىٔمة، ات محمدا الوصيلة، وابعثه مقاما محمودا الذى وعدته حلت له الشفاعة، إلا حلة له الشفاعة يوم القيامة. 

     "Barangsiapa yang setelah mendengar seruan adzan mengucapkan, 'Ya Allah, Rabb pemilik seruan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan ini, karuniakanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, serta angerahkanlah kepadanya tempat terpuji yang telah engkau janjikan kepadanya,' maka ia berhak mendapatkan syafa'at pada hari kiamat kelak."

     Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ka'ab bin al-Qamah, dari Abdurrahman bin Jubair, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash bahwa ia pernah mendengar Nabi bersabda,

إذا سمعته الموذن، فقولوا مثل ما يقول، ثم صلوا على، فانه من صلى على صلاة، صلى الله علىه عشرا، ثم سلوا لي الوسيلة، فانها مترلة فى الجنة لا تنبغى إلا اعبد منعباد الله، وارجو أن اكون أنا هو، فمن سأل لي الوسيلة، حلت عليه الشفاعة.

     "Jika kalian mendengar seruan muadzin maka ucapkanlah seperti yang diucapkannya, lalu bershalawatlah kepadaku. Karena sesungguhnya barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan bershalawat padanya sebanyak sepuluh kali. Kemudian mintalah wasilah untukku karena sesungguhnya wasilah itu merupakan kedudukan di sisi syurga yang tidak diperuntukkan kecuali bagi salah seorang hamba Allah dari hamba-hamba-Nya. Aku berharap orang itu adalah aku. Barang siapa memohonkan wasilah untukku, ia berhak mendapatkan syafa'at."

     Itulah penafsiran Ibnu Katsir, dan berikut penafsiran gurunya yakn Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

     Syaikhul Islam Taimiyah menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:

فابتغاء الوسيلة الى الله انما يكون لمن توسل الى الله بالإيمان بمحمد واتباعة. 

     "Makna mencari wasilah kepada Allah, sebenarnya adalah bagi orang yang menggunakan perantara (jalan) kepada Allah dengan beriman kepada Muhammad SAW dan mengikutinya."

     Makna wasilah dalam ayat diatas, menurut beliau adalah: 'beriman kepada Muhammad dan mengikutinya,' karena itulah yang akan mengantarkan manusia kepada Allah SWT, serta mengantarkannya ke syurga-Nya di akhirat nanti.

     Selanjutnya beliau menjelaskan,

     "Dan tawassul (berperantara) kepada Allah SWT, dengan iman dan taat kepada Muhammad SAW, itu adalah kewajiban (fardhu) bagi setiap muslim dalam segala keadaannya. Demikian juga baik dalam penglihatannya atau tidak. Dan tawassul dengan iman dan taat kepadanya ini tidak dapat diukur dari seseorang dalam segala keadaannya, sesudah tegaknya hujjah, dan tidak dibenarkan beralasan apapun (untuk meninggalkan tawassul semacam ini)."

     Selanjutnya beliau mengatakan,

ولفظ التوسل فى عرف الصحابة كانوا يســــــــــــتعمملونه فى هذا المعنى. 

     "Dan lafal tawassul dalam uruf (kebiasaan) sahabat yang mereka pergunakan adalah seperti makna tersebut."

***
Sumber : Buku Putih Kyai NU, Hal:302-307



1 comments - Skip ke Kotak Komentar

buku putih kyai NU said...

Wah saya dapatkan penjelasan yang sangat detai di sini tentang buku putih kyai NU dan kontroversinya. Jazakalloh,syukron

Post a Comment

Ngalab Berkah Dan Perantara Kubur