Ketika Istri Membangkang dan Menentang Suami

Istri Nusyuz dan Bertindak Keji


Soal:
Apa batasan nusyuz? Bagaimana ciri-cirinya? Apa tindakan yang harus dilakukan suami saat istrinya melakukan nusyuz?


Jawab:
Allah SWT telah mengharamkan nusyuz yang dilakukan oleh istri, termasuk perbuatan keji yang lain, dengan keharaman yang tegas. Allah SWT juga telah mengancam tindakan tersebut dengan neraka Jahannam, serta siksa yang pedih di akhirat. Allah SWT berfirman:

وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا

(Terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberikan jalan yang lain kepada mereka (QS an-Nisa’ [4]: 15).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewariskan kepada wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata (QS an-Nisa’ [4]: 19).

Konotasi kata fakhisyah (keji) dalam nas yang pertama adalah zina; sedangkan yang kedua adalah durkaha kepada suami, bermulut culas dan berani kepada suami. Fakhisyah Mubayyinah (perbuatan keji yang nyata) adalah kemaksiatan yang nyata, yang menurut Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, ad-Dhahak dan Qatadah, adalah al-bughdhu wa an-nusyuz. Nusyuz merupakan bentuk maksiat istri kepada suaminya.

Dalam nasyrah Soal-Jawab Hizbut Tahrir (2 Muharram 1392 H/17 Februari 1972 M) dinyatakan, bahwa nusyuz adalah maksiat istri kepada suaminya dalam konteks kehidupan khusus (di rumah) dan hubungan suami-istri. Contoh: jika suami memerintahkan istrinya menyiapkan makanan, menutup aurat di depan pria lain; memerintahkan shalat, puasa, memakai pakaian tertentu di rumah, tidak membuka jendela, tidak menjawab orang yang mengetuk pintu, tidak duduk di teras, atau mencucikan baju suaminya, tidak keluar rumah, dan sebagainya yang terkait dengan kehidupan khusus atau kehidupan suami-istri, maka dia wajib menaati suaminya. Jika dia maksiat kepada suaminya dan tidak menaati suaminya, maka dia telah melakukan tindakan nusyuz, dan kepada dirinya berlaku hukum nusyuz.

Di luar itu tidak termasuk dalam kategori nusyuz. Misalnya, perintah suami mengikut aksi, menghadiri seminar, mengenakan jilbab di luar rumah, larangan berbisnis, larangan pergi haji atau umrah, maka istri bisa menaati perintah/larangan suaminya, bisa juga tidak. Jika tidak menaati suaminya, maka tindakan istri dalam konteks kehidupan umum, dan bukan kehidupan suami-istri ini tidak termasuk dalam ketori nusyuz. Inilah batasan nusyuz istri kepada suaminya.

Jadi, nusyuz memang bentuk kemaksiatan istri kepada suami. Indikasinya bisa berupa tindakan, bisa juga dalam bentuk perkataan. Jika seorang istri meninggikan suaranya kepada suami, tidak menjawab ketika dipanggil, tidak segera melaksanakan perintahnya ketika diperintah, tidak patuh ketika dipanggil, tidak memenuhi keinginannya ketika diajak, serta menggunakan kata-kata kasar, culas dan berani kepada suaminya; maka ini merupakan indikasi, bahwa wanita tersebut telah nusyuz kepada suaminya.

Teriakan, meninggikan suara, ucapan culas dan kata-kata kotor merupakan aib yang besar bagi siapapun, apalagi jika itu keluar dari mulut seorang wanita. Islam telah mengajarkan hukum, akhlak dan adab berbicara dengan sesama manusia, baik Muslim maupun non-Muslim pada level yang tinggi, dengan lemah-lembut dan kasih sayang. Ini tampak dalam pilihan kata dan ungkapan yang digunakan. Bahkan ini menjadi indikasi kepribadian seorang Muslim.

Karena itu, jika seorang istri berani berteriak, meninggikan suara, mengucapkan kata-kata culas dan kotor kepada suaminya, maka ini merupakan aib yang besar. Jika ini terjadi maka dia sudah bisa disebut melakukan tindakan nusyuz. Bahkan dalam Islam, ini disebut sebagai kejahatan yang disepadankan dengan zina. Nabi saw. pun menyebut maksiat perempuan tersebut sepadan dengan maksiat seribu orang durjana. Nabi saw. bersabda:

إِنَّ فُجُوْرَ الْمَرْأَةِ اْلفَاجِرَةِ كَفُجُوْرِ أَلْفٍ فَاجِرٍ وَإِنَّ بِرَّ الْمَرْأَةِ الْمُؤْمِنَةِ كَعَمَلِ سَبْعِيْنَ صِدِّيْقًا

Sungguh, maksiat perempuan yang durjana sepadan dengan maksiat seribu orang durjana, dan ketaatan perempuan Mukminah sepadan dengan perbuatan tujuh puluh orang jujur.

Selain ancaman azab yang pedih di akhirat, wanita yang melakukan nusyuz juga diancam dengan sanksi di dunia. Seorang suami yang menghadapi istrinya melakukan nusyuz bisa mengambil sejumlah tindakan: (1) memberi nasihat, dengan mengingatkan istrinya akan dosa besar (kabair) dari tindakannya serta ancaman azab yang pedih di akhirat; (2) jika tetap bebal, maka pisah ranjang; (3) jika tetap bebal, maka bisa dipukul dengan pukulan yang tidak membekas, pada bagian belakang tubuhnya. Allah SWT berfirman:

وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Para wanita yang kalian khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, serta pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar (QS an-Nisa’ [4]: 34).

Selama istrinya melakukan nusyuz, hak nafkahnya pun dicabut, dan tidak wajib diberikan oleh suaminya. Selama itu pula, suaminya bisa bersabar dalam menghadapi tindakan nusyuz dan keji istrinya, meski ini tidak harus (wajib). Jika suaminya memilih bertahan dan bersabar, maka dia akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dari Allah SWT. Dalam hal ini, hukumnya mandub (sunnah) selama dia mampu menghadapinya, dan menganggapnya sebagai musibah dan bala’ yang sengaja diberikan Allah kepada hamba-Nya dalam rangka menguji keimanannya. Bersabar menghadapi bala’ dan musibah akan bisa menghapus dosa-dosanya. Nabi saw. bersabda:

مَا يَزَالُ اْلبَلاَء بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى الله وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَ ةٌ. [رواه الترمذي]

Tidaklah bala’ selalu menimpa orang Mukmin dan Mukminah mengenai diri, anak dan hartanya, kecuali dia akan menghadap Allah tanpa dosa (HR at-Tirmidzi).

Inilah solusi yang telah diberikan oleh syariah. Hanya saja, jika langkah-langkah tersebut masih tidak membuat istrinya jera dan berubah, maka menurut Syaikh Yusuf Ba’darani, sebagai langkah terakhir, suaminya boleh menceraikannya. Perlu dicatat, bahwa perceraian dalam konteks ini sebenarnya bukan merupakan solusi, sekalipun hukumnya mubah.

Perlu dicatat, keluarga yang baik adalah keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang. Ini harus diperhatikan dalam hubungan suami-istri. Kepemimpinan suami terhadap istrinya adalah kepemimpinan yang didasarkan pada cinta dan persahabatan, bukan hubungan kekuasaan. Teladan kita, Nabi Muhammad saw. memberikan pelajaran yang berharga kepada kita tentang bagaimana kehidupan keluarga yang bahagia. Keluarga beliau pun pernah menghadapi masalah, sebagaimana masalah yang dihadapi oleh keluarga lain, tetapi semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Itulah yang harus diteladani.

Yang terpenting, dalam membangun kehidupan rumah tangga, kita tidak boleh berhenti belajar. Dengan begitu, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, termasuk istri yang nusyuz. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Ketika Istri Membangkang dan Menentang Suami
Setelah kita mengetahui apa saja kewajiban istri, begitu pula kewajiban suami, barangkali ketika menjalani rumah tangga sering ada cek-cok, masalah, dan keributan. Sampai-sampai istri berbuat nusyuz atau melakukan pembangkangan. Terutama karena tidak memperhatikan kewajiban masing-masing dan seringnya menuntut hak. Akhirnya keributan pun terjadi. Islam sudah mengetahui akan terjadi masalah semacam ini dan Islam berusaha memberikan solusi terbaik, supaya rumah tangga tetap utuh. Jangan sampai istri berbuat melampaui batas, begitu pula suami ketika menyikapi istri.

Apa itu Nusyuz?

Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang benar.

Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284). Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya. Silakan merujuk kembali pada bahasan kewajiban istri.

Hukum Nusyuz

Nusyuz wanita pada suami adalah haram. Karena wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Mengenai hukuman yang dimaksud disebutkan dalam ayat,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).

Mengobati Istri yang Nusyuz

Jika wanita terus bermuka masam di hadapan suami, padahal suami sudah berusaha berwajah seri; berkata dengan kata kasar, padahal suami sudah berusaha untuk lemah lembut; atau ada nusyuz yang lebih terang-terangan seperti selalu enggan jika diajak ke ranjang, keluar dari rumah tanpa izin suami, menolak bersafar bersama suami, maka hendaklah suami menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan yang telah dituntukan oleh Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Urutannya dimulai dari hal berikut ini:

1. Memberi nasehat

Hendaklah suami menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri dengan mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami dan memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya. Wanita yang baik adalah wanita sholehah, yang taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada di sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasehati istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.

Ancaman-ancaman mengenai istri yang durhaka telah disebutkan dalam bahasan kewajiban istri.

Jika istri telah menerima nasehat tersebut dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).

Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.

2. Melakukan hajr

Hajr artinya memboikot istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat,

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ

“Dan hajarlah mereka di tempat tidur mereka” (QS. An Nisa’: 34).

Mengenai cara menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:

  1. Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh
  2. Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
  3. Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
  4. Pisah ranjang (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).

Cara manakah yang kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi istri ketika hajr.

Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri melainkan di rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang lain, maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz.

Namun jika melakukan hajr untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan.

Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak atau menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal.

Berapa lama masa hajr?

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat bulan. Namun yang lebih tepat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah bahwa masa hajr adalah sampai waktu istri kembali taat (tidak nusyuz). Karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita pun mengamalkannya secara mutlak dan tidak dibatasi.

Namun jumhur ulama berpandangan bahwa jika hajr yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada istri, maka maksimal hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami bisa melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ

“Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih dari tiga hari” (HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).

Jika tidak lagi bermanfaat cara kedua ini, maka ada langkah berikutnya.

3. Memukul istri

Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan hajr tidak lagi bermanfaat. Namun hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri:

a. Memukul dengan pukulan yang tidak membekas

Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).

Jika seorang suami memukul istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka ini bukanlah mendidik. Sehingga tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak.

b. Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat madzhab Hambali. Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Burdah Al Anshori, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ

“Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah” (HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).

c. Tidak boleh memukul istri di wajah

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ

“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inihasan shahih).

‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

d. Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.

e. Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).

Demikian beberapa solusi yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas tidaklah bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir. Mudah-mudahan Allah memudahkan untuk membahas hal ini. Semoga Allah memberi kemudahan demi kemudahan.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.



Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.

Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H



3 comments:

shofwan said...

makasih

muhammad Tamsir said...

istri saya pergi meninggalkan rumah setelah melakukan nusyuz yakni BBm man dengan lelaki lain yang bukan muhrim nya di malam sampai dinihari,dan saat ini justru dia yang menggugat saya cerai apakah perbuatannya termasuk dosa atau tidak?

Anonymous said...

Sekadar sharing utk Sdr.Muh Tamzir...
Lakukan pendekatan hukum sebab akibat, mengapa istri melakukan nusyuz ? Adakah hal yg menyebabkan hal ini terjadi terkait dgn perilaku Anda. Jika selama ini Anda sdh berlaku bijak kepada istri, kemudian si istri telah berbuat nusyuz BBM-man dgn lelaki lain sampai tidak kenal waktu hingga ending-nya menggugat cerai, maka hal ini termasuk kategori nusyuz berat. BBM-man dengan lelaki lain tanpa mengenal waktu adalah indikasi cikal bakalnya cinta bersemi yg bakal tumbul menjadi PIL (Pria Idaman Lain). Kondisional spt ini, tentunya akan mengganggu ketentraman rumah tangga siapapun.

Sharing solusi:
Pandai pandailah Anda membekali istri ttg Kepribadian dan Keimanan yg teguh secara arif & bijak hingga istri jadi merasa takut kepada Anda. Jika istri tidak ada rasa takut kpd suami, maka sulitlah masalah Anda tersolusikan.
Waspadai bahwa perkembangan teknologi sangat berpengaruh besar terhadap perilaku seseorang, jika tidak ada filter yg kuat.
Pengalaman Anda sama persis dgn yang saya alami Broo....
Alhamdulillah...dgn resep itu istri saya bisa sadar dari semua kesalahan yg telah diperbuat dan menjadi istri yg taubat kepada suami.

Semoga permasalahan Anda mendapat bombingan dari Allah SWT untuk penyelesaian terbaiknya.
Amin..amin YRA.

Post a Comment

Ketika Istri Membangkang dan Menentang Suami