Antara Berbakti Kepada Orang Tua Dan Hak-Hak Istri

Antara Berbakti Kepada Orang Tua Dan Hak-Hak Istri
Ini adalah makalah sosial yang ditulis oleh Dr. Nuh Sulaiman. Makalah ini menjelaskan batasan yang jelas antara berbakti kepada orang tua dan hak-hak istri, juga menjelaskan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh istri. Dengan demikian, hal-hal lain yang berada di luar kewajiban-kewajiban tersebut tidak boleh dibebankan kepada istri kecuali dengan suka rela. Terdapat sementara kaum suami yang beranggapan bahwa seorang istri harus juga melayani kedua mertuanya bahkan saudar-saudara suaminya. Makalah ini mencoba menggambarkan batasan-batasan sesuai syariat agar seseorang tidak berbuat aniaya kepada orang lain, dan juga supaya setiap muslim memahami batasan-batasan Allah untuk ditaati dan tidak dilanggarnya. Allah SWT berfirman:

"...Barang siapa yang melanggar batasan-batasan (hukum) Allah mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah:229)

Dr. Nuh Sulaiman menekankan satu hal yang sangat penting, yaitu larangan seorang melanggar hak-hak orang lain dengan mengatasnamakan Islam atau menghubung-hubungkan kesalahan-kesalahan yang biasa kita lakukan dengan syariat Islam.

  1. Istri itu bukan seorang pelayan, dia adalah teman hidup suami yang memiliki hak dan kewajiban. Dengan demikian, bukan termasuk tanggungan kewajibannya untuk melayani keluarga suaminya. Bahkan kepada suaminya sendiri sekalipun tidak ada kewajiban melayani. Orang yang masih meragukan hal ini silahkan membaca kitab-kitab fiqih Islam dan mari kita renungkan hal-hal berikut ini:

    1. Seorang istri berhak mendapat mahar atau mas kawin sebagai imbalan atas kenikmatan yang diperoleh suami darinya sekalipun dia hanya sempat bersanding di sisinya selama sehari saja. Di samping itu dia pun berhak diberi nafkah sebagai imbalan kesetiaannya mengurus serta mengatur rumah tangga. Jika seorang diwajibkan melayani suami dan merawat rumah, lalu apa imbalannya? Padahal kita tahu bahwa syariat islam selalu menetapkan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dan dalam kaidah agama mengenai hak, kerugian itu harus diperhitungkan berdasarkan keuntungan. Lalu keuntungan apa yang akan diperoleh seorang istri dari sikap melayani suami? Jika seorang wanita dicerai, dia tidak berhak mengambil sesuatu dari harta mantan suaminya barang sedikitpun, sekalipun dia telah lama melayaninya. Mut'ah yang dia terima sebagai ganti perceraian dengan cara menindas, sama sekali tidak sebanding dengan lama pelayanan yang telah dia lakukan. Lalu berdasarkan apa seorang istri wajib melayani suami dan keluarganya? Dan apa imbalan yang akan dia peroleh dari pelayanannya?
    2. Misalkan sang istri menolak pelayanan tersebut, sanksi agama apa yang akan diberlakukan atas penolakan tadi? Apakah suami sanggup mengupah seorang pelayan atas perhitungannya, seperti yang biasa dilakukan oleh pemilik usaha apabila ada karyawannya yang menolak melakukan pekerjaan yang telah diupahkan? Pasti dia tidak akan sanggup.
    3. Jika istri berhak menerima upah sekalipun sangat minim, niscaya jumlahnya akan berlipat ganda dari jumlah mahar dan nafkah yang diterimanya, terlebih lagi jika dia melakukan pelayanan selama bertahun-tahun.
    Itulah hal-hal penting yang harus segera dikedepankan untuk meyakinkan orang yang ragu bahwa istri itu bukanlah seorang pelayan. Oleh karena itu, dia tidak mungkin dituntut untuk menjadi pelayan rumah tangga.

    Para Ulama fikih menetapkan bahwa jika suami menyuruh istrinya menjadi pelayan di rumah ayahnya (ayah istri), suami wajib mendatangkan seorang pelayan wanita untuknya. Namun, jika istri sendiri menawarkan diri untuk melayani ayahnya, seorang suami tidak berkewajiban mendatangkan pelayan untuk istrinya. Lalu berdasarkan apa orang-orang mewajibkan sesorang istri melayani keluarga suaminya?

    Ada sementara oarang yang mendasarkan dalilnya pada keterangan dari hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa Fatimah r.a, Asma binti Abu Bakar, istri-istri Nabi saw., bahkan istri para sahabat, adalah wanita-wanita yang serta melayani suami mereka. Hal ini memang benar, tetapi pelayanan itu bukan karena kewajiban, melainkan merupkan bakti mereka terhadap suami. Mereka ingin membantu suaminya dalam mengarungi hidup dan kehidupannya.

    Atau itu merupakan salah satu bentuk kerjasama dalam kehidupan berumah tangga. Jadi sekali lagi bukan karena kewajiban atau keharusan yang dilaksanakan berdasarkan kekuatan hukum. Salah satu kebiasaan baik yang banyak berlaku di tengah-tengah masyarakat adalah saling membantu antar tetangga, misalnya membantu tetangga yang sibuk dengan pekerjaan yang relatif banyak, pada saat panen, memetik buah, atau mendirikan bangunan rumah. Apa yang mereka lakukan itu bukan merupakan kewajiban, melainkan termasuk perbuatan baik.

    Saya sama sekali tidak berniat menghalangi seorang istri melayani suami dan rumah tangganya. Bahkan, saya justru mendorong dan memberinya semangat. Dalam hal ini, saya menganggap hal itu sebagai catatan kebaikannya dan termasuk amal shaleh yang akan dibalas dengan pahala. Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda: "Perbuatan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari tengah jalan adalah sedekah." Menimbakan air untuk saudaranya sesama muslim adalah sedekah. Dan membantu menaikkan beban bawaan ke atas hewan angkutan juga merupakan sedekah. Apalagi khidmat atau pelayanan yang dilakukan oleh istri kepada suami dan anak-anaknya: jelas itu termasuk sedekah.

    Akan tetapi, jika kemudian pelayanan istri itu dianggap suatu kewajiban yang dipaksakan dan dicela jika tidak lakukan secara sempurna apalagi menolaknya, bahkan jika sampai diwajibkan pula melayani keluarga suami. Hal seperti itu tidak ada dalilnya sama sekali, tidak ada tuntutan hukum syariatnya, dan tidak diatur oleh kaidah-kaidah fikih islam. Jika itu yang terjadi, alangkah rendahnya upah yang diterima oleh seorang istri.
  2. Pada dasarnya, bakti seorang suami kepada orang tuanya tidak boleh melanggar hak-hak istri karena ibu maupun istri masing-masing punya hak. Adalah perbuatan zalim jika kita membebani istri untuk juga melayani ibu. Tidak ada ketaatan sama sekali bagi makhluk dalam berbuat maksiat kepada Khaliqnya. Jika seorang istri melayani ibu mertuanya karena alasan demi cintanya kepada suami dan juga dan juga demi mencari pahala, hal itu merupakan suatu kewajiban, itulah yang sebaliknya tidak dilakukan. Allah SWT telah berfirman:

    "... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya..." (al-Baqarah: 228)

    Tidak ada seorangpun yang mengatakan atau yang mengharuskan seorang suami melayani ibu mertuanya dan seorang istri juga harus melayani ibu mertuanya. Firman Allah bahwa para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya sama seperti firman Allah bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, yang berarti bahwa mereka akan dimintai tanggung jawab tentang rumah tangga yang mereka bina. Jadi bukan berarti bahwa istri wajib berkhidmat kepadanya dan kepada keluarganya.

    Telah berlaku kebiasaan pada kaum wanita untuk merasa terdorong berkhidmat atau melayani suami dan kedua mertuanya dengan harapan untuk mencari ridha Allah SWT. Jika suami merasa bahwa apa yang dilakukan istri itu sudah menjadi kewajiban, jelas keliru. Akan tetapi, jika dia faham bahwa hal itu hanya kebaikan seorang istri melakukan kesalahan atau kekurangan. Dengan begitu akan terwujud rasa cinta kasih dan perselisihan dalam rumah tangga dikurangi sedemikian rupa. Sedapat mungkin rumah tangga harus dijauhkan dari silang sengketa.
  3. Apapun pendapat orang-orang perihal melayani mertua tidak berlaku bagi saudara-saudara suami. Padahal, bisa jadi, saudara perempuan suami justru lebih sanggup melakukannya daripada seorang istri. Jika sikap memperbudak istri masih tetap ada, bukankah hal itu merupakan sisa- sisa pemikiran jahiliyah yang melihat wanita adalah barang dagangan yang bisa diperjualbelikan? Pada zaman jahiliah tidak ada bedanya istri dengan pelayan atau antara istri dengan budak sahaya.

         Persoalannya akan bertambah buruk jika seorang istri dibebani untuk melayani saudara-saudara suami yang terdiri atas pemuda-pemuda yang sudah dewasa, sedangkan pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram haram menurut syariat, Allah SWT berfirman :

    قُل لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَرِٰهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوجَهُمْ

         "Katakanlah kepada orang laki-laki yang berman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...'"(an-Nur: 30)

    وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

         " Katakanlah kepada wanita-wanita yag beriman:'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...'" (an-Nur:31)

    Bagaimmana seorang istri dapat menahan pandangannya jika dia harus melayani saudara-saudara iparnya? Sedangkan Rasulullah saw. telah bersabda: "Saudara ipar bebarti kematian."

    Kita tidak melarang seorang istri untuk berkhidmat, asalkan tidak berbaur apalagi berduaan dengan laki-laki lain. Dan kita tidak setuju jika pelayanan tersebut dianggap sebagai suatu kewajiban yang memiliki sanksi jika di tinggalkan.
  4. Secara syara' seorang wanita berhak memiliki rumah sendiri yang menjamn keamanannya, tempat beristirahat, atau tempat memfokuskan diri pada urusannya. Dia tidak boleh dipaksa tinggal bersama mertuannya atau bersama saudara saudar suaminya yang sudah dewasa, kecuali dengan kemauannya dan dengan tujuan untuk meringankan beban suami. Jika orang tua suami (ibu) mencegah terwujudnya hak seorang istri, berarti dia telah menuntut dan suami tidak boleh menuruti tuntutan ibunya melalui penolakan yang lembut dan baik.
  5. Terdapat sanggahan atas hadits yang meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab r.a telah menyuruh putranya, Ibnu Umar, untuk menceraikan istrinya. Oleh Ibnu Umar perintah ayahnya itu disampaikan kepada Rasulullah saw., ternyata Rasulullah saw. menyuruh Ibnu Umar menaati perintah ayahnya. Perlu penulis tegaskan bahwa Umar bin Khattab r.a. adalah sahabat yang terkenal adil, bertakwa kepada Allah, dan menjahui kezaliman. Mana mungkin beliau menyuruh putranya sendiri untuk melakukan kezaliman dan pelanggaran? Sungguh Umar adalah orang yang paling takut kepada Allah daripada berlaku zalim kepada menantunya sendiri. Bisa jadi, hadits tersebut hanya pendapat dengan alasan bahwa wanita tersebut tidak layak bagi putranya (atau berperilaku tidak baik) sehingga beliau menyuruh menceraikannya.

    Jika seorang anak memiliki ayah seperti Umar bin Khattab, pasti kita akan menaati perintahnya. Adapun perintah ayah yang memusuhi istri anaknya sendiri tidak perlu ditaati. Seorang wanita yang sudah dipinang sangat layak mendapatkan penghargaan dan cinta dari ayah dan seluruh anggota keluarga calon suaminya.
  6. Selain itu ada permasalahan yang sering terjadi dewasa ini, yaitu seorang suami yang mengambil gaji istrinya yang bekerja dan menganggap itu adalah miliknya. Dia telah berdusta terhadap islam dengan dalih: "Ini adalah ketentuan hukum Allah. Seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa izin seizinku, akulah yang berhak mengambil gajinya." Prinsip suami seperti itu tidak benar. Gaji hasil kerja istri adalah milik istri, orang lain termasuk suaminya sendiri tidak berhak mengambil sedikitpun. Seorang suami yang mengambil sesuatu milik istrinya tanpa seizin (ridha) pemiliknya dikatakan telah melakukan suatu perbuatan yang zalim dan haram.

    Memang benar jika dikatakan bahwa seorang istri tidak boleh keluar rumah untuk bekerja tanpa seizin suami. Namun, jika ternyata suami sudah mengizinkan, dia tidak berhak menerima imbalan dengan mengambil gajinya. Jika kemudian seorang istri mempergunakan gajinya untuk kepentingan rumah tangga, untuk dirinya sendiri, atau untuk anak-anaknya, hal itu merupakan haknya, dan dia akan mendapatkan pahala atas hal itu. Dengan demikian, sedikitpun dia tidak boleh dipaksa.

    Di kalangan luar islam, kita dapat melihat kenyataan banyaknya kaum wanita yang dipaksa menjadi pelayan dan hasil jerih payahnya diambil, sementara para suami mengatakan bahwa itu adalah sebuah kemajuan dalam hidup. Dalam hal ini, banyak wanita yang percaya dan ridha dengan penindasan itu agar tidak dituduh sebagai wanita yang terbelakang. Bahkan, anyak suami yang menuduh bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita. Padahal sebaliknya, Islam justru membelanya dan memberikan hak kepada wanita dalam hidup ini.

    Sesungguhnya Islam berlaku adil terhadap semua manusia, dan permasalahan wanita dibahas secara khusus. Dalam konsepsi Islam, wanita adalah ibu yang jika dia mulia dan terhormat maka putra putrinya akan mulia dan terhormat, dan jika terhina maka terhina pula putra-putrinya. Alangkah agungnya Islam, dan alangkah celakanya orang yang berpaling dari agama Allah itu.

    Sumber : Hanya untuk suami Hal.124-132
    ******




0 comments:

Post a Comment

Antara Berbakti Kepada Orang Tua Dan Hak-Hak Istri