Wakalah

Wakalah
     Wakalah menurut bahasa kadang berarti menyerahkan, kadang juga berarti menjaga.

     Sedang wakalah atau mewakilkan dalam Syara'. yang dimaksud ialah menyerahkan harta atau pekerjaan kepada orang lain agar dijaga atau dikerjakan, selagi pemberi mandat itu masih hidup.

SYARAT-SYARAT WAKALAH

     Untuk sahnya wakalah dipersyaratkan, hendaknya pemberi mandat (muwakkil) itu sendiri sah bila mengerjkan sendiri apa yang dia wakilkan kepada orang lain, baik karna harta atau pekerjaan yang dia wakilkan itu memang miliknya, atau karna dia punya kekuasaan (wilayah) atasnya, umpamanya karena ia sebagai bapak atau kakek dari si pemilik.

     Oleh karena itu wakalah yang diserahkan oleh anak kecil maupun orang gila tidak lah sah. begitu pula orang yang sedang dalam keadaan ihram tidak sah mewakili orang lain untuk urusan nikah.

     Persyaratan yang sama juga dipersyaratkan pada orang yang dijadikan wakil. Oleh karenanya, anak kecil dan orang gila juga tidak sah menjadi wakil. Semua itu dasarnya ialah, "Segala sesuatu yang boleh dikerjakan sendiri oleh seseorang, maka dia boleh mewakilkannya kepada orang lain atau menjadi wakil."

     Adapun harta atau pekerjaan yang diwakilkan, syaratnya hendaklah diketahui. Dengan demikian harta dan pekerjaan yang belum diketahui. Dengan demikian harta dan pekerjaan yang belum diketahui tidak sah diwakilkan.

     Dalam pada itu ada juga perkara yang tidak sah diwakilkan kepada orang lain, yaitu seluruh ibadah badaniyah. Karna maksud dari ibadah badaniyah adalah sebagai cobaan dan ujian, hal mana tak bisa dilakukan oleh orang lain. Namun demikian ada yang dikecualikan, yaitu ibada haji, menyembelih binatang qurban, membagi zakat an puasa kifarat, karena ada nash yang membolehkannya.

HUKUM WAKALAH

     Wakalah adalah suatu akad yang boleh dibatalkan (fasakh) oleh masing-masing fihak dari wakil atau muwakkil, kapan saja dikehendaki. Karena wakalah adalah akad permufakatan dari kedua belah fihak, yang oleh karenanya membatalkannya pun boleh. Lain dari itu, muwakkil kadang-kadang melihat ada baiknya untuk mengangkat seseorang menjadi wakilnya, dan kadang kadang kemudian dia lhat ada baiknya untuk membatalkannya.

     Di lain fihak wakil pun demikian. Kadang-kadang dia ternyata tak punya kesempatan untuk melaksanakan apa yang diwakilkan kepadanya. Oleh sebab itu, mengharuskan masing-masing fihak dari merea berdua untuk meneruskan akad wakalah, sama artinya dengan menciptakan bahaya dengan sengaja. Padahal menurut riwayat Ahmad dan ibnu Majah :

لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ

Artinya :
"Bahaya harus dihilangkan, menimbulkan bahaya pun tidak boleh."

     Akad wakalah menjadi bubar dengan sendirinya apabila salah seorang dari wakil atau muwakkil meninggal dunia. Karena begitulah sifat dari setiap akad yang ja'iz. Dan begitu pula, dengan kematiannya itu, berarti dia tidak layak lagi menunaikan wewenang apapun. Demikian pula wakalah menjadi batal bila salah seorang ada yang gila, atau barang yang diwakilkan sudah bukan milik si muwakkil lagi, karena dijual atau diwakafkan umpamanya.

WAKIL ADALAH MANDATARIS

     Seorang wakil hanyalah sekedar pemegang amanat atas apa yang diwakilkan kepadanya. Maka dari itu, sewaktu-aktu barang yang diwakilkan itu rusak, dia tidak perlu menanggungnya, kecuali karena kelengahannya. Karena ketika akad wakalah terjadi, artinya muwakkil mempercayakan barangnya kepada wakil. Konsekuensinya, dia harus percaya pula pada pengakuan si wakil mengenai erusakan barang tersebut, seperti halnya kepada para pemegang amanat dalam urusan yang lain. Begitu pula, dia harus menerima perkataan si wakil, bila dia mengaku telah mengembalikan barang.

     Adapun contohnya kelengahan (tafrith) ialah, bila barang itu dijual lalu diserahkan kepada pembeli sedang harganya belum terpegang. Atau barang itu dipakai tanpa izin dari muwakkil. Atau ditaruh di tempat yang tidak selayaknya.

WAKIL UNTUK BERJUAL-BELI

Seorang wakil yang disuruh menjualkan barang secara mutlak (tanpa ketentuan harga), tidaklah berhak menjual dengan harga yang tidak wajar, atau dengan uang yang tidak berlaku di negeri yang bersangkutan, atau dengan harga yang kelewat murah, yakni yang menurut biasaya tak mungkin dijual dengan harga sekian. Karena kebiasaan ('uruf) pun bisa dijadikan landasan. Pendeknya, harga yang wajar adalah merupakan harga standar yang harus dijadikan pegangan.

     Bukankah anda mengerti, kalau dua orang berjual beli secara mutlak. Yang satu menjual barangnya tanpa menyebutkan harganya, dan yang membeli begitu pula, dia terima begitu saja barang yang berlaku saat itu dengan menggunakan uang yang laku di negeri itu.

WAKIL MENJUAL BARANG KEPADA DIRINYA SENDIRI DAN IKRAR WAKIL TENTANG MUWAKKILNYA

     Seorang wakil yang disuruh menjual barang, tidak diperkenankan menjual barang tersebut kepada dirinya sendiri ataupun kepada anaknya yang masih kecil. Karena 'uruf mengharuskan demikian. Artinya, bahwa siap saja punya tabiat sama, kalau membeli suatu barang untuk dirinya tentu inginnya yang semurah-murahnya. Padahal muwakkil itu sendiri ingin harganya naik. Jadi, antara keinginan wakil dengan keinginan muwakkil di sini justru berlawanan.

     Adapun kalau wakil itu menyatakan diri sebagai muwakkil itu sendiri, tentu saja tidak benar. Karena pernyataan seperti itu merupakan ikrar yang bukan haknya.

     Ketentuan-ketentuan tersebut di atas yang berlaku pada wakil yang disuruh menjualkan barang, juga berlaku untuk wakil yang disuruh membelikan.

***
 
Sumber : Fiqih Wanita Hal. 508-510



0 comments:

Post a Comment

Wakalah