Salah Kaprah Dalam Mencari Perantara

Salah Kaprah Dalam Mencari Perantara
    Pengertian tawassul yang salah, yaitu tawassul yang ditradisikan oleh kalangan mutaakhirin, dalam bentuk, "Bersumpah dengan Nabi, dan meminta-minta kepadanya (sesudah wafatnya), dan juga terhadap orang orang-orang shalih mereka/yang dianggap shalih (wali/kyai) yang sudah mati."

    Dengan kata lain, tawassul model kalangan mutaakhirin, adalah dengan memohon kepada orang yang telah meninggal dunia, untuk dimintai bantuannya menyampaikan do'a-do'a mereka kepada Allah SWT. Dan juga bersumpah dengan Nabi (iqsam bihi), seperti: bi haqqi nabiyyika... dan seterusnya sesudah wafatnya.

    Maka perincian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah elanjutnya: Lafal tawassul itu dimaksudkan dengan tiga maknanya:

    Pertama, tawassul dengan taat kepada Nabi saw, dan ini adalah wajib, yang tidak sempurna imannya seseorang kecuali dengannya.

    Kedua, tawassul dengan doa dan syafa'at Nabi saw, dan ini pada masa hidupnya, dan nanti pada hari kiamat mereka (orang-orang mukmin) tawassul dengan syafa'atnya.

    Ketiga, tawassul dengan Nabi saw sesudahmatinya, dan minta-minta dengan perantara dzatiyah Nabi saw. Maka yang semacam ini tidak pernah diamalkan oleh sahabat-sahabat dalam istisqa' (mohon hujan), dan sebangsanya, tidak sewaktu hidupnya dan tidak juga semasa wafatnya, dan tidak disisi kuburnya, dan juga tidak di luar kuburnya (melubangi kubah kuburnya), dan tidak dijumpai hal ini dalam do'a-do'a yang masyhur dari kalangan mereka (sahabat). Hanya terdapat dalam hadits-hadits dhaif, yang marfu' atau mauquf, atau dari orang-orang yang perkataannya tidak dapat dipakai sebagai hujjah (dasar agama).

    Simpulan dari uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah diatas, bahwa bentuk tawassul yang salah, yaitu: "Tawassul dengan roh-roh yang dianggap suci, untuk dimintai bantuannya menyampaikan do'a-do'a kepada Allah swt. Perkara semacam ini tidak ditemukan tuntunannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah saw serta amalan sahabat. Akan tetapi yang jelas hal itu adanya di kitab suci orang Hindu, yaitu kitab Manawa Harma Sastra Weda Smtri tahun 1983 cetakan pertama dan kedua halaman 86 no. 127 yang isinya:
  • "Termasyhurlah upacara (selamatan) untk orang mati yang disebut upacara suci kepada leluhur yang dilakukan pada bulan tanggal pertama (hari pertama, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseribu); kalau orang rajin melakukan amalan itu, pahala dari upacara untuk orang mati yang dilakukan sesui dengan hukum snarta akan mencapai dirinya selalu..." Dan seterusnya seperti yang telah diuraikan pada halam terdahulu.
     Seharusnya kita malu, setelah kita tahu bahwa amalan ibadah kita/tawassul kita ternyata hanya berdasar hadits-hadits yang dla'if dan hanya berdasarkan atas mimpi-mimpi atau hanya dari pendapat-pendapat orang-orang yang perkataannya bukan merupakan hujjah agama islam. Dan yang lebih memalukan lagi adalah ternyata semua itu terdapat dalam itab suci orang Hindu. Bukan kitab suci kita orang islam.

    Jika kita mau jujur, betapa bodohnya kita dulu, hingga sangat banyak kesalahan kita dalam bertawassul kita dulu berargumen bahwa seseorang apabila ia dianiaya ia tidak bisa langsung mengadukan kepada raja kecuali harus melalui menteri yang dapat memberikan syafa'at (bantuan) dihadapan sang raja, sehingga hajatnya diluluskan. Begitu pula Allah swt, tidak mungkin sampai kepada-Nya kecuali melalui jalan para Nabi, wali dan orang shalih karena memiliki kedudukan dan nama di sisi Allah swt. Sehingga yafa'atnya diterima, para syuf'a (syafi', pemberi bantuan) ini seperti para wazir (menteri) dihadapan sang raja.

    Qiyasdi atas adalah qiyas yang rusak. Rusaknya karena kita menyerupakan Tuhan semesta alam dengan raja dari bangsa manusia. itu adalah kezhaliman yang besar. Allah swt tidak boleh diqiyaskan dengan makhluk. Raja manusia terkadang tidak mengetahui aniaya yang dilaporkan oleh mutawassil. (orang yang meminta perantara) kepada menteri ini menanggapi atau tidak, sedangkan Allah swt, yang Maha Mengetahui, mengetahui adanya kezhaliman yang terjadi, apakah mutawassil bertawassul dengan-Nya atau bertawassul dengan selain-Nya. Apabila raja membutuhkan kepada para menteri, maka Raja para Raja Maha Kaya, tidak membutuhkan menteri dan para amir . Raja dunia membutuhkan perantara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, karena mereka lemah tak berdaya, tidak mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. Allah swt, berfirman:


  (فَلَا    تَضْرِبُوا۟    لِلَّـهِ    الْأَمْثَالَ    ۚ    إِنَّ    اللَّـهَ    يَعْلَمُ    وَأَنتُمْ    لَا    تَعْلَمُونَ    ﴿النحل:٧٤



"Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Surat an-Nahl : 74)

    Kemudian siapakah yang lebih utama? Yang memenuhi hajat tanpa perantara karena Dia adalah Maha Mengetahui yang ghaib dan Maha Melihat rahasia hati, ataukah hamba yang lemah, tidak mengetahui kemaslahatan manusia dan membantu sebagian hajat manusia kecuali dengan bantuan dikenalkan, direkomendasikan dan diperantarakan? Tidak ragu lagi bahwa kalianpun akan menjawab, yang memenuhi hajat tanpa perantara. Lalu mengapa kalian tidak berbaik sangka kepada Allah swt, dan tidak mewajibkan pada hak-Nya yang lebih utama?



    Di samping itu, mengqiyaskan orang-orang mati dengan para menteri dan raja adalah qiyas bathil (rusak) dari banyak sisi:

    Yang jelas, para raja memiliki kemampuan untuk bertindak dalam wilayah hak dan kekuasaannya. Sedangkan orang mati tidak memiliki kemampuan untuk bertindak, tidak memiliki manfaat dan madharat untuk dirinya apalagi untuk orang lain.

    Juga para raja mengetahui keadaan orang yang terhimpit masalah yang menjadikan para menteri sebagai wasilah kepada sang raja yang beristiqhatsah kepadanya. Sedangkan orang mati tidak mengetahui hal itu.

    Para raja terpaksa menerima syafa'at para amir dan menteri mereka karena kebutuhan mereka kepada para amir dan menteri itu untuk menjaga negara dan stabilitas keamanan dalam negeri. Berbeda dengan Raja para Raja, Penguasa Jagad Raya, ia Maha Kaya dan Maha Hidup serta Maha Mengatur, dan tidak ada sekutu dalam kerajaan-Nya.

    Jelaslah para raja bertindak sangat terbatas hanya dalam hal yang dia mampu, maka tidak boleh menyerupakannya dengan Pencipta dan Penguasa semesta alam, yang bertindak dalam segala sesuatu dan kuasa atas segala sesuatu. Maka bagaimana mungkin menyerupakan makhluk dengan al-Khaliq?!

Yang harus kita perhatikan adalah:

6. Ketentuan tentang apakah roh itu bisa beramal atau tidk sesudah berpisah dengan badan, adalah termasuk 'perkara ghaib'; yang tidak seorangpun manusia bisa menentukan dengan pendapat dan pikirannya.

7. Untuk menentukan perkara semacam itu, terutama yang menyangkut masalah aqidah (dasar kepercayaan agama), haruslah dari nash Kitabullah atau sekurang-kurangnya dari hadits shahih yang sharih (jelas).

8. Ketentuan diatas datangnya dari pendapat atau hasil renungan manusia, atau hasil pemikiran, maka masih perlu dihadapkan dengan Kitabullah dan Sunnah yang syah.

9. Bahwa ternyata tidak ditemukan dasarnya baik dari Kitabullah maupun Sunnah yang syah yang menyatakan, bahwa roh mayit dapat berbuat aktif membantu segenap yang hidup dalam do'a-do'a mereka. Dan bahkan hadits-hadits shahih yang sangat populer bertentangan dengan pendapat di atas, yaitu hadits : Idza maata ibnu Adama inqatha'a 'amaluhu (Apabila anak adam telah mati, maka terputuslah amalnya), dan seterusnya.
Bahkan yang kita temukan, semua itu ada dalam kitab orang-orang Hindu yaitu dalam kitab Manawa.

10. Bahwa suatu bukti kenyataan sejarah cukup nyata, seperti nyatanya benda padat terlihat di siang hari. Yaitu yang penulis maksud adalah: Sahabat Nabi saw dalam perjalanan hidup mereka yang penuh dengan peristiwa-peristiwa besar yang menimpa mereka dan memperhatikan, seperti peperangan-peperangan dalam dan luar negeri, seperti perpecahan yang melnda merek, maka tidak seorangpun diantara mereka ada yang merengek-rengek pada roh Nabi saw, yang merupakan tempat pulang mereka dalam segala hal di masa hidup mereka. Dan bahkan Umar Ibnu Khatab ra, setelah wafat Nabi saw, dalam istisqa' (do'a minta hujan) tidak lagi meminta-minta kepada roh Nabi saw, dengan cara melubangi kubah kuburannya, agar do'anya ditembuskan langsung kepada Allah swt. Setelah Nabi saw wafat, Umar Ibnu Khatab ra, yaitu al-Abbas ra yang masih hidup.

Kalau orang mati masih dapat aktif, tentu dan pasti Umar Ibnu Khatab ra lebih memilih tawassul dengan roh Nabi saw.

Akan bagaimanakah gerangan nasib agama yang suci ini, kalau masalah-masalahnya yang prinsipil yang menyangkut aqidah atau pondasinya, didasarkan pada hadits-hadits dla'if dan pendapat-pendapat atau pemikiran-pemikiran hasil renungan manusia yang lemah ini, atau malah dari ajaran Hindu? Kita harus berhenti dari amalan yang sesat dan menyesatkan itu, tidak boleh tidak.

    Yang dimaksud taubat kan berhenti dari kemaksiatan, makanya kita harus berhnti biat taubat kita diterima oleh Allah swt menjadi taubatan nasuha.

    Setelah dipaparkan secara ringkas sekitar pengertian tawassul dan wasilah, baik yang benar maupun yang salah, maka kalau diantara maksud ziarah kubur yang kita lakukan adalah jelas-jelas menjadi tawassul kepada mayit, maka jelaslah, bahwa acara ziarah kubur yang demikian itu bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam yang shahih. Bahkan merupakan ajaran agama Hindu. Na'udzubillaahi min dzalik.

Wallahu a'lam bishshawab
Untuk sementara kami cukupkan sampai disini, semoga dalam penerbitan selanjutnya ada revisi yang lebih baik. Kritik dan saran yang membangun tentunya harus berdasarkan al-Qur'an an al-Hadits yang shahih tetap kami nantikan.



0 comments:

Post a Comment

Salah Kaprah Dalam Mencari Perantara